Bagi umat Islam, Ramadhan bukan sekedar salah satu nama bulan Qomariyah,
tapi dia memiliki makna tersendiri. Ramadhan bagi seorang muslim adalah rihlah
dari kehidupan materialistis kepada kehidupan ruhiyah, dari kehidupan yang
penuh dengan berbagai masalah keduniaan menuju kehidupan yang penuh tazkiyatus
nafs (pembersihan jiwa) dan riyadhotur ruhiyah (olah rohani).
Kehidupan yang penuh dengan amal taqarrub kepada Allah, mulai dari tilawah
Al-Quran, menahan syahwat dengan shiyam, sujud dalam qiyamul lail, ber’itikaf
di masjid, dan lain-lain. Semua ini dalam rangka merealisasikan inti ajaran dan
hikmah puasa Ramadhan, yaitu agar kalian menjadi orang yang bertaqwa.
Allah Swt berfirman: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas
kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar
kamu bertaqwa (QS Al-Baqarah:183).
Ramadhan juga merupakan
bulan latihan bagi peningkatan kualitas pribadi seorang muslim. Hal itu
terlihat pada esensi puasa yakni agar manusia selalu dapat meningkatkan
nilainya di hadapan Allah SWT dengan bertaqwa, disamping melaksanakan
amaliyah-amaliyah positif yang ada pada bulan Ramadhan. Di antara
amaliyah-amaliyah Ramadhan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw – baik
itu amaliyah ibadah maupun amaliyah ijtima’iyah – adalah sebagai
berikut:
1.
Shiyam (puasa)
Amaliyah terpenting pada bulan Ramadhan tentu saja adalah shiyam
(puasa), sebagaimana termaktub dalam firman Allah pada QS 2: 183-187. Di antara
amaliyah shiyam Ramadhan yang diajarkan oleh Rasulullah Saw. adalah:
a.
Berwawasan yang
benar tentang puasa dengan mengetahui dan menjaga rambu-rambunya.
Puasa bukanlah
sekedar tidak makan dan tidak minum, tapi ada rambu-tambu kehidupan yang harus
ditaati sehingga puasa itu menjadi sarana tarbiyyah (pendidikan) menuju
kehidupan yang bertaqwa kepada Allah Swt. Puasa seperti inilah yang bisa
menghapus dosa seorang muslim, Rasulullah Saw bersabda:
Barangsiapa berpuasa
Ramadhan kemudian mengetahui rambu-rambunya dan memperhatikan apa yang semestinya
diperhatikan, maka hal itu akan menjadi pelebur dosa-dosa yang pernah dilakukan
sebelumnya” (HR. Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi).
b. Tidak meninggalkan shiyam, walaupun sehari, dengan sengaja tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat Islam.
Puasa Ramadhan
merupakan ibadah yang mesti ditunaikan, tanpa uzur syar’I (halangan yang bisa
dibenarkan menurut syari’at), maka seorang muslim tidak boleh meninggalkan
puasa. Ini merupakan dosa yang sangat besar sehingga tidak bisa ditebus
meskipun seseorang berpuasa sepanjang masa,
Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa tidak puasa pada bulan
Ramadhan sekalipun sehari tanpa alasan rukhshoh atau sakit, hal itu (merupakan
dosa besar) yang tidak bisa ditebus bahkan seandainya ia berpuasa selama hidup”
(HR.At-Turmudzi).
c.Menjauhi hal-hal yang dapat mengurangi atau bahkan menggugurkan nilai
shiyam.
Puasa
merupakan pendidikan untuk menahan diri dari hal-hal yang tidak benar, bila hal
itu tidak bisa ditinggalkan, maka tidak ada nilai atau paling tidak berkurang
nilai ibadah seseorang, Rasulullah Saw. pernah bersabda:
“Bukanlah (hakikat)
shiyam itu sekedar meninggalkan makan dan minum, melainkan meninggalkan pekerti
sia-sia (tak ternilai) dan kata-kata bohong” (HR.Ibnu
Hibban dan Ibnu Khuzaimah).
Rasulullah Saw. juga
pernah bersabda bahwa, “Barangsiapa yang selama berpuasa tidak juga
meninggalkan kata-kata bohong bahkan mempraktekkannya, maka tidak ada nilainya
bagi Allah apa yang ia sangkakan sebagai puasa, yaitu sekedar meninggalkan
makan dan minum” (HR.Bukhori dan Muslim).
d. Bersungguh-sungguh melakukan shiyam dengan menepati aturan-aturannya.
Ibadah puasa
merupakan ibadah yang harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan sehingga apa
yang menjadi ketentuannya bila dipatuhi,
Rasulullah Saw. bersabda:
”Barangsiapa berpuasa
Ramadhan dengan sepenuh iman dan kesungguhan, maka akan diampunkanlah dosa-dosa
yang pernah dilakukan” (HR. Bukhori, Muslim dan Abu
Daud).
e.Bersahur.
Bagi orang yang
hendak berpuasa, disunnahkan untuk makan sahur pada saat sebelum tiba
waktu subuh (fajar), sahur merupakan makanan yang berkah (Al-ghoda’
al-mubarok). Dalam hal ini Rasulullah pernah bersabda bahwa:
”Makanan sahur
semuanya bernilai berkah, maka jangan Anda tinggalkan, sekalipun hanya dengan
seteguk air. Allah dan para Malaikat mengucapkan salam kepada orang-orang yang
makan sahur” (HR. Ahmad).
f. Ifthor.
Ketika waktu maghrib
telah tiba, yakni saat matahari telah terbenam, maka saat itulah waktu berbuka
sehingga sangat ditekankan kepada orang yang berpuasa untuk segera berbuka
puasa. Rasulullah pernah menyampaikan bahwa salah satu indikasi kebaikan umat
manakala mereka mengikuti sunnah dengan mendahulukan ifthor dan mengakhirkan
sahur. Sabda Rasulullah Saw:
“Sesungguhnya
termasuk hamba Allah yang paling dicintai oleh-Nya ialah mereka yang bersegera
berbuka puasa” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Bahkan beliau
mendahulukan ifthor walaupun hanya dengan ruthob (kurma mengkal), atau tamr
(kurma) atau air saja (HR. Abu Daud dan Ahmad).
g. Berdoa.
Sesudah
menyelesaikan ibadah puasa dengan berifthor, Rasulullah Saw. sebagaimana yang
beliau lakukan sesudah menyelesaikan suatu ibadah, dan sebagai wujud syukur
kepada Allah, beliau membaca do’a sebagai berikut:
عن انس قال كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال : بسم الله اللهم لك صمت وعلى
رزقك أفطر ت. وزاد ابن عباس وقال : فتقبل مني
إنك انت السميع العليم. وعن ابن عمر
قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا افطر
قال : ذهب الظمأ وابتلـت العروق وثبت
الاجر إنشاء الله
Rasulullah
bahkan mensyariatkan agar orang-orang yang berpuasa banyak memanjatkan do’a, sebab
do’a mereka akan dikabulkan oleh Allah. Dalam hal ini beliau pernah bersabda
bahwa,
“Ada
tiga kelompok manusia yang do’anya tidak ditolak oleh Allah. Yang pertama ialah
do’a orang-orang yang berpuasa sehingga mereka berbuka” (HR.Ahmad dan Turmudzi).
2. Tilawah (membaca) Al-Quran
Ramadhan adalah
bulan diturunkannya Al-Quran (QS 2: 185). Pada bulan ini malaikat Jibril pernah
turun dan menderas Al-Quran dengan Rasulullah Saw. (HR. Bukhari). Maka tidak
aneh jika Rasulullah Saw. lebih sering membacanya pada bulan Ramadhan.
Iman Az-Zuhri pernah
berkata, ”Apabila datang Ramadhan maka kegiatan utama kita (selain shiyam)
ialah membaca Al-Quran”. Hal ini tentu saja dilakukan dengan tetap
memperhatikan tajwid dan esensi dasar diturunkannya Al-Quran untuk ditadabburi,
dipahami, dan diamalkan (QS Shod: 29).
3. Ith’am Ath-Tho’am (memberikan makanan dan shadaqah lainnya)
Salah satu amaliyah
Ramadhan Rasulullah ialah memberikan ifthor (santapan berbuka puasa) kepada
orang-orang yang berpuasa. Seperti sabda beliau: “Barangsiapa yang memberi
ifthor kepada orang-orang yang berpuasa, maka ia mendapat pahala senilai pahala
orang yang berpuasa itu, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa tersebut”
(HR. Turmudzi dan An-Nasa’I).
Memberikan makan dan
sedekah selama bulan Ramadhan ini bukan hanya untuk keperluan ifthor melainkan
juga untuk segala kebajikan. Rasulullah yang dikenal dermawan dan penuh peduli
terhadap nasib umat, pada bulan Ramadhan kedermawanannya dan keperduliannya
tampil lebih menonjol, kesigapan beliau dalam hal ini bahkan dimisalkan sebagai
‘lebih cepat dari angin” (HR.Bukhori).
4. Memperhatikan Kesehatan
Shaum termasuk
kategori ibadah mahdhah (murni). Sekalipun semikian agar nilai maksimal ibadah
puasa dapat diraih, Rasulullah justru mencontohkan kepada umat agar selama
berpuasa tetap memperhatikan kesehatan. Hal ini terlihat dari beberapa
peristiwa di bawah ini :
a.
Menyikat gigi dengan
siwak (HR. Bukhori dan Abu Daud).
b.
Berobat seperti
dengan berbekam (Al-Hijamah) seperti yang diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
c.
Memperhatikan
penampilan, seperti pernah diwasiatkan Rasulullah SAW kepada sahabat Abdullah
ibnu Mas’ud RA, agar memulai puasa dengan penampilan baik dan tidak dengan
wajah yang cemberut. (HR. Al-Haitsami).
5.
Memperhatikan
Harmoni Keluarga
Sekalipun
puasa adalah ibadah yang khusus diperuntukkan kepada Allah, yang memang juga
mempunyai nilai khusus di hadapan Allah, tetapi agar hal tersebut di atas dapat
terealisir dengan lebih baik, maka Rasulullah justru mensyari’atkan agar selama
berpuasa umat tidak mengabaikan harmoni dan hak-hak keluarga. Seperti yang
diriwayatkan oleh istri-istri beliau, Aisyah dan Ummu Salamah RA, Rasulullah
adalah tokoh yang paling baik untuk keluarga, dimana selama bulan Ramadhan
tetap selalu memenuhi hak-hak keluarga beliau. Bahkan ketika Rasulullah berada
dalam puncak praktek ibadah shaum yakni I’tikaf, harmoni itu tetap terjaga.
6.
Memperhatikan
Aktivitas Da’wah dan Sosial
Kontradiksi
dengan kesan dan perilaku umum tentang berpuasa, Rasulullah SAW justru
menjadikan bulan puasa sebagai bulan penuh amaliyah dan aktivitas positif.
Selain yang telah tergambar seperti tersebut di muka, beliau juga aktif
melakukan da’wah, kegiatan sosial, perjalanan jauh dan jihad. Dalam sembilan
kali Ramadhan yang pernah beliau alami, beliau misalnya melakukan perjalanan ke
Badr (th. 2 H), Mekkah (th. 8 H) dan ke Tabuk (th.9H), mengirimkan 6 sariyah
(pasukan jihad yang tidak secara langsung beliau ikuti/pimpin), melaksanakan
pernikahan putrinya (Fathimah) dengan Ali RA, menikahi Hafsah dan Zainab RA,
meruntuhkan berhala-berhala Arab seperti Lata, Manat dan Suwa’, meruntuhkan
masjid Adh-Dhiror, dll.
7.
Qiyam Ramadhan
(Shalat Terawih)
Diantara
kegiatan ibadah Rasulullah selama bulan Ramadhan ialah ibadah qiyam al-lail
(shalat Terawih) yang dilakukan bersama dengan para sahabat. Disaat Rasulullah
khawatir akan diwajibkannya sholat tarawih secara berjamaah, akhirnya beliau
tidak melakukannya sepanjang ramadhan (HR.Bukhari dan Muslim). Pada saat
Rasulullah SAW sholat tarawih berjamaah bersama sahabat, banyak riwayat menyebutkan
bahwa beliau sholat 11 rakaat dengan bacaan-bacaan yang panjang (HR.Bukhari dan
Muslim). Tetapi disaat kekhawatiran akan diwajibkannya sholat tarawih tidak ada
lagi, kita dapati riwayat-riwayat lain, juga dari Umar bin Khattab menyebutkan
jumlah rakaat sholat tarawih adalah 21 atau 23 rakaat (HR.Abdur Rozzaq dan
Baihaqi).
Menyikapi
perbedaan rakaat ini, mari kita simak paparan salah seorang tokoh dibidang ilmu
hadits, Ibnu Hajar al Asqolani as Syafi’I, beliau mengatakan : Beberapa riwayat
yang sampai kepada kita tentang jumlah raka’at sholat tarawih menyiratkan ragam
sholat sesuai dengan keadaan dan kemampuan masing-masing. Kadang ia mampu
melaksanakan sholat 11 rakaat, kadang 21 dan terkadang 23 rakaat, tergantung
semangat dan antusiasmenya masing-masing. Dahulu mereka sholat 11 rakaat dengan
bacaan yang panjang sehingga mereka bertelekan dengan tongkat penyangga,
sedangkan mereka yang sholat 21 atau 23 raka’at, mereka membaca bacaan-bacaan
yang pendek dengan tetap memperhatikan masalah thuma’ninah, sehingga tidak
membuat mereka sulit.
8. I’tikaf
Di antara
amaliyah sunnah yang selalu dilakukan Rasulullah pada bulan ramadhan adalah
I’tikaf, yakni berdiam diri di masjid dengan niat beribadah kepada Allah. Abu Sa’id al Khudri
meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah melakukan I’tikaf pada awal ramadhan,
pertengahan dan paling sering pada 10 hari terakhir bulan ramadhan. Ibadah yang
penting ini sering dianggap berat oleh kaum muslimim, sehingga banyak yang
tidak melakukannya.
Tidak aneh
kalau Imam az-Zuhri berkomentar, “Aneh benar keadaan orang Islam, mereka
meninggalkan I’tikaf, padahal Rasulullah tidak pernah meninggalkannya sejak
beliau datang ke Madinah sampai beliau wafat.”
9.
Lailatul Qadar
Selama bulan
ramadhan terdapat satu malam yang sangat berkah, yang populer dengan sebutan
lailatul qadar, malam yang lebih berharga dari seribu bulan (QS Al Qodr:1-5).
Rasulullah tidak pernah melewatkan bulan ramadhan untuk meraih lailatul qodr
terutama pada malam-malam ganjil pada 10 hari terakhir bulan ramadhan (HR.Bukhari
dan Muslim).
Rasulullah
Saw. bersabda, “Barangsiapa yang sholat pada malam lailatil qodr berdasarkan
iman dan ihtissab, maka Allah akan
mengampunkan dosa-dosanya yang telah lalu” (HR.Bukhari dan Muslim).
Ketika kita
mendapatkannya, Rasulullah Saw.mengajarkan kita untuk membaca doa berikut:
اللهم إنك عفو
تحب العفو فا عف عنى
10. Umrah
Umrah pada
bulan ramdhan juga sangat baik dilaksanakan, karena akan mendapatkan pahala
yang berlipat-lipat, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Rasulullah kepada
seorang wanita dari Anshor yang bernama Ummu Sinan,
“Agar apabila datang bulan Ramadhan, hendaklah ia melakukan umrah,
karena nilainya setara dengan haji bersama Rasulullah Saw”(HR.Bukhari dan Muslim).
11. Zakat Fithrah
Zakat Fithrah
dibayar pada hari-hari terakhir ramadhan. Ia merupakan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seluruh komponen umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan,
dewasa maupun anak-anak. (HR.Bukhari dan Muslim).
Zakat fithrah
ini dibayarkan dengan tujuan untuk menyucikan orang yang melaksanakan puasa dan
untuk membantu kaum fakir miskin. (HR.Abu Dawud dan Ibnu Majah).
12. Ramadhan bulan taubat menuju fithrah
Selama
sebulan penuh, umat Islam berlomba kembali kepada Allah Yang Maha Pemurah lagi
Maha Pengampun. Allah mengatakan bahwa Dia setiap malam bulan ramadhan
membebaskan banyak hamba-Nya dari api neraka (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Oleh sebab
itu, ramadhan adalah kesempatan emas agar ketika mereka selesai melaksanakan
ibadah puasa, mereka benar-benar kembali kepada fithrahnya.
PANDUAN QIYAM RAMADHAN DAN SHALAT TARAWIH
Qiyam Ramadhan dan Sholat Tarawih adalah salah satu ibadah yang dianjurkan Rasulullah
SAW, tetapi terkadang pelaksanaannya dapat mengganggu ukhuwwah Islamiyah,
karena terdapat perbedaan pada beberapa hal. Oleh karena itu kami membuat
panduan ini agar umat Islam dapat memahami berbagai perbedaan tersebut dan
tidak terjadi perselisihan yang dapat merusak Ukhuwwah Islamiyyah.
1. Anjuran Melaksanakan Qiyam dan Tarawih di Bulan Ramadhan.
Merupakan
anjuran Nabi SAW menghidupkan malam ramadhan dengan memperbanyak sholat. Hal
itu dapat terpenuhi dengan mendirikan Tarawih disepanjang malam ramadhan. Fakta
adanya pemberlakuan sholat Tarawih secara turun temurun sejak Nabi SAW hingga
sekarang merupakan dalil yang tidak dapat dibantah kebenarannya. Oleh karena
itu para ulama sepakat bahwa sholat tarawih itu disyariatkan. Rasulullah SAW
bersabda :
عن أبى هريرة قال كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يرغب فى قيام رمضان
من غير أن يأمرهم بعزيمة ويقول من قام رمضان إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من
ذنبه (متفق عليه)
“Dari Abu
Hurairah menceritakan, bahwa Nabi SAW sangat menganjurkan qiyam ramadhan dengan
tidak mewajibkannya. Kemudian Nabi SAW bersabda, “Siapa yang mendirikan sholat
di malam Ramadhan dengan penuh keimanan dan harapan maka ia iampuni dosa-dosa
yang telah lampau” (Muttafaq alaih,
lafadz Imam Muslim dalam shahihnya: 6/40).
2. Pemberlakuan Jamaah Shalat Tarawih
Pada awalnya
sholat tarawih dilaksanakan Nabi Saw. dengan sebagian sahabt secara berjamaah
di masjid Nabawi.Namun setelah berjalan
tiga malam, Nabi Saw. membiarkan para sahabat melakukan tarawih secara
sendir-sendiri. Hingga dikemudian hari , ketika Umar bin Khattab menyaksikan
adanya fenomena sholat tarawih yang terpencar-pencar dalam masjid Nabawi,
terbersit dalam hati Umar untuk menyatukannya sehingga terbentuklah sholat
tarawih berjamaah yang dipimpim Ubay bin Kaab. Kisah ini terekam dalam hadits
muttafaq alaih riwayat A’isyah (al Lu’lu’ wal marjan :436).
Dari sini
mayoritas ulama menetapkan bahwa sholat tarawih secara berjamaah hukumnya
sunnah. (Lihat Syarh Muslim oleh Nawawi:6/39).
3. Wanita Melaksanakan Tarawih
Pada dasarnya
wanita lebih baik sholat di rumahnya, termasuk juga sholat tarawih. Namun jika
tidak ke mesjid dia tidak berkesempatan atau tidak melaksanakannya maka
kepergiannya ke mesjid untuk hal tersebut akan mempereoleh kebaikan yang sangat
banyak. Pelaksanaannya tetap memperhatikan etika wanita ketika di luar rumah.
4. Jumlah Rakaat Tarawih
Dalam Riwayat
Bukhari tidak menyebutkan berapa rakaat Ubay bin Kaab melaksanakan tarawih.
Demikian juga riwayat Aisyah – yang menjelaskan tentang tiga malam Nabi Saw.
mendirikan tarawih bersama para sahabat -- tidak menyebutkan jumlah rakaatnya,
sekalipun dalam riwayat Aisyah lainnya ditegaskan tidak adanya pembedaan oleh
Nabi Saw. tentang jumlah rakaat sholat malam baik didalam maupun di luar
ramadhan. Namun riwayat ini nampak pada konteks yang lebih umum yaitu sholat
malam. Hal itu terlihat pada kecenderungan ulama dalam menempatkan riwayat ini
pada bab sholat malam secara umum. Misalnya Imam Bukhari meletakkannya pada Bab
Sholat Tahajud, Imam Malik pada bab Sholat Witir Nabi Saw. (Lihat Fathul Bari
4/250; Muwattha’ dalam Tanwir
Hawalaik:141).
Hal tersebut
memunculkan perbedaan dalam jumlah rakaat Tarawih yang berkisar dari 11, 13,
21, 23, 36 bahkan 39 rakaat.
Akar
persoalan ini sesungguhnya kembali pada
riwayat-riwayat sebagai berikut:
a. Hadits Aisyah:
ما كان يزيد فى
رمضان ولا فى غيره على إحدى عشرة
“Nabi tidak pernah
melakukan sholat malam lebih dari 11 rakaat baik di bulan ramadhan maupun di
luar ramadhan” (Al Fath: Ibid).
b. Imam Malik dalam Muwattha’nya meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab
menyuruh Ubay bin Kaab dan Tamim ad Dari untuk melaksanakan sholat tarawih 11
rakaat dengan rakaat-rakaat yang sangat panjang. Namun dalam raiwayat Yazid bin
ar Rumman bahwa jumlah rakaat yang didirikan di masa Umar bin Khattab 23 rakaat
(Al Muwattha’ dalam Tanwirul Hawalaik:138).
c. Imam at Tirmidzi menyatakan bahwa Umar dan Ali serta sahabat lainnya
menjalankan sholat tarawih sejumlah 20 rakaat (selain witir). Pendapat ini
didukung oleh ats Tsauri,Ibnu Mubarak dan ay Syafi’ie (Lihat Fiqh Sunnah :
1/195).
d. Bahkan di masa Umar bin Abdul Aziz kaum muslimin sholat tarawih hingga
36 rakaat ditambah wititr tiga rakaat. Hal ini dikomentari Imam Malik bahwa
masalah ini sudah lama menurutnya (alFath: Ibid)
e. Imam asy Syafi’I dari riwayat az Za’farani mengatakan bahwa ia sempat
menyaksikan umat Islam melaksanaka sholat tarawih di Madinah dengan 39 raka’at,
dan di Makkah 33 rakaat, dan menurutnya hal tersebut memang memiliki
kelonggaran (al Fath: Ibid)
Dari riwayat diatas
jelas akar persoalan dalam jumlah rakaat tarawih bukanlah persoalan jumlah
melainkan kualitas rakaat yang hendak didirikan. Ibnu Hajar berpendapat, “Bahwa
perbedaan yang terjadi dalam jumlah rakaat tarawih muncul dikarenakan panjang
dan pendeknya rakaat yang didirikan. Jika dalam mendirikannya dengan
rakaat-rakaat yang panjang maka berakibat pada sedikitnya jumlah rakaat dan
demikian sebaliknya.”
Hal senada juga
diungkapkan oleh Imam asy Syafi’i, “Jika
shalatnya panjang dan jumlah rakaatnya sedikit itu baik menurutku. Dan jika
shalatnya pendek, jumlah rakaatnya banyak itu juga baik menurutku, sekalipun
aku lebih senang pada yang pertama.” Selanjutnya beliau juga mengatakan bahwa
orang yang menjalankan tarawih 8 rakaat dengan witir 3 rakaat dia telah
mencontoh Nabi, sedangkan yang menjalankan tarawih dengan 23 mereka telah
mencontoh Umar, generasi sahabat dan tabi’in.Bahkan menurut Imam Malik hal itu
telah berjalan lebih dari ratusan tahun.
Hal yang sama juga
diungkap oleh Imam Ahmad bahwa tidak ada pembatasan yang signifikan dalam
jumlah rakaat tarawih melainkan tergantung panjang dan pendeknya rakaat yang
didirikan (Lihat Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 4/250 dst).
Imam az Zarqani
mencoba menetralisir persoalan ini dengan menukil pendapat Ibnu Hibban bahwa
tarawih pada mulanya 11 rakaat dengan rakaat yang sangat panjang, namun
bergeser menjadi 20 rakaat (tanpa witir) setelah melihat adanya fenomena
keberatan umat Islam dalam mendirikannya. Bahkan hingga bergeser menjadi 36
(tanpa witir) dengan alasan yang sama (Lihat Hasyiyah Fiqh Sunnah:
1/195).
Dengan demikian
tidak ada alasan yang mendasar untuk saling berselisih karena persoalan jumlah
rakaat sholat tarawih, apalagi menjadi sebab perpecahan umat yang bersatunya
adalah sesuatu yang wajib. Jjika kita perhatikan dengan cermat maka yang
menjadi konsensus dalam shalat tarawih adalah kualitas dalam menjalankannya dan
bagaimana shalat tersebut benar-benar menjadi media komunikasi antara hamba
dengan Rabb-nya lahir dan batin sehingga berimplikasi dalam kehidupan berupa
ketenangan dan merasa selalu bersama-Nya dimana pun berada.
Cara Melaksanakan
Sholat Tarawih
1. Dalam hadits Bukhari riwayat Aisyah menjelaskan bahwa cara Nabi Saw.
dalam menjalankan sholat malam adalah dengan melakukan tiga kali salam,
masing-masing terdiri dari 4 rakaat yang
sangat panjang ditambah 4 rakaat yang panjang pula ditambah 3 rakaat sebagai
penutup (Lihat Fathul Bari:
Ibid).
2. Bentuk lain yang mendapatkan penegasan secara qauli dan fi’li
juga menunjukkan bahwa sholat malam dapat pula dilakukan dua rakaat0dua rakaat
dan ditutup satu rakaat. Ibnu Umar menceritakan bahwa seorang sahabat bertanya
kepada Rasulullah Saw. tentang cara
Rasulullah Saw. mendirikan sholat malam, beliau menjawab : “sholat malam
didirikan dua rakaat-dua rakaat, jika ia khawatir akan tibanya waktu subuh maka
hendaknya menutup dengan satu rakaat. (Muttafaq alaih al-Lu’lu wal Marjan:
432). Hal ini ditegaskan fi’liyah (perbuatan) Nabi Saw. dalam hadits Muslim dan
Malik ra (Lihat Syarh shahih Muslim 6/46-47, Muwattha’dalam Tanwir: 143-144).
3. Dari sini Ibnu Hajar menegaskan bahwa Nabi SAW terkadang melakukan
witir/menutup sholatnya dengan satu rakaat dan terkadang menutupnya dengan tiga
rakaat.
Demikianlah
penjelasan seputar sholat tarawih dalam perspektif Islam semoga bermanfaat.
HAL-HAL DI BULAN
RAMADHAN YANG KHUSUS BUAT MUSLIMAH
A. Muqoddimah
Dalam Surah
Al-Baqarah ayat 183, Allah Swt. memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan
puasa dengan tujuan menggapai taqwa. Perintah ini adalah umum, artinya berlaku
untuk laki-laki dan perempuan. Tetapi dalam rincian pelaksanaan puasa, ada
beberapa hal yang khusus untuk wanita, karena adanya perbedaan fithrah antara
laki-laki dan perempuan.
Kami memandang perlu
untuk memuat hal ini, karena sering menjadi permasalahan yang kadang-kadang
membuat seorang Muslimah ragu dalam menentukan sikap. Mudah-mudahan panduan ini
bermanfaat.
B. Panduan Umum
1. Wanita sebagaimana pria disyariatkan memanfaatkan bul;an suci ramadhan
untuk banyak beribadah. Seperti memperbanyak membaca Al-Quran, dzikir, doa,
sedekah dan lain-lain, karena pada bulan ini seluruh amalan akan dilipatgandakan
pahalanya.
2. Mengajarkan kepada anak-anak akan pentingnya bulan ramadhan bagi umat
Islam, dan membiasakan mereka berpuasa secara bertahap (tadarruj), serta
menerangkan hukum-hukum puasa yang bisa mereka cerna sesuai dengan tingkat
kefahamam yang mereka miliki.
3. Tidak menghabiskan waktu hanya di dapur, dengan membuat berbagai variasi
makanan untuk berbuka. Memang diantara tugas wanita adalah menyiapkan makanan
berbuka, tetapi jangan sampai hal itu menguras seluruh waktunya, karena ia juga
dituntut untuk mengisi waktunya dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah.
4. Melaksanakan sholat pada waktunya.
C. Hukum Berpuasa Bagi Muslimah
Berdasarkan keumuman
Firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 183 serta hadits Rasulullah Saw. yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, maka para ulama sepakat bahwa hukum puasa
bagi muslimah adalah wajib,apabila memenuhi syarat-syaratnya, yaitu, berakal,
baligh, mukim dan tidak ada hal-hal yang menghalangi puasa.
D. Sholat Tarawih, I’tikaf dan Lailatul Qadar
Wanita diperbolehkan
melaksanakan sholat tarawih di masjid jika aman dari fitnah. Rasulullah Saw
bersabda, “Janganlah kalian melarang wanita untuk mengunjungi masjid-masjid
Allah” (HR.Bukhari). Perbuatan ini juga dilakukan oleh ulama salafus saleh.
Namun demikian
wanita diharuskan untuk berhijab (memakai busana muslimah), tidak mengeraskan
suaranya, tidak menampakkan perhiasan-perhiasannya, tidak memakai
wangi-wangian, dan hendaknya keluar setelah mendapatkan izin dari suami atau
orang tua.
“Shaf wanita berada
dibelakang shaf pria, dan sebaik-baik shaf wanita adalah yang paling” (HR. Muslim).
Tetapi jika ia ke
mesjid hanya untuk sholat, tidak untuk yang lainnya seperti mendengarkan
pengajian, mendengarkan bacaan al Quran yang dibacakan dengan indah, maka
sholat dirumahnya adalah lebih afdhol.
Wanita juga boleh
melakukan I’tikaf baik dimasjid rumahnya maupun di masjid yang lain bila tidak
menimbulkan fitnah, tentunya setelah mendapat izin dari suami atau orangtuanya.
Untuk wanita, sebaiknya melakukan I’tikaf di masjid yang menempel dengan
rumahnya atau yang berdekatan dengan rumahnya serta terdapat fasilitas khusus
buat wanita.
Wanita juga
diperbolehkan untuk berlomba menggapai lailatul qadar sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh sebagian isteri Rasululah (Lebih lanjut, lihat panduan I’tikaf
dan lailatul qadar.
E. Haid dan Nifas
Wanita yang haid dan
nifas tidak boleh berpuasa.
1. Apabila haid atau
nifas keluar meskipun sekejap sebelum maghrib, ia wajib membatalkan puasanya
dan mengqodho’nya (menggantinya) pada waktu yan lain.
2. Apabila ia suci pada
siang hari, maka untuk hari itu ia tidak boleh berpuasa, sebab pada pagi
harinya ia tidak dalam keadaan suci.
3.
Apabila ia suci pada
malam hari , maka ia wajib berepuasa disiang harinya meskipun ia suci sesaat
sebelum fajar dan baru sempat mandi setelah terbit fajar.
F. Hamil dan Menyusui
1. Jika wanita hamil itu takut akan
keselamatan kandungannya, ia boleh berbuka. Apabila kekhawatiran ini terbukti
dengan pemeriksaan secara medis dari dua dokter yang terpercaya, maka hukum
berbuka bahkan menjadi wajib, demi keselamatan janin yang ada dalam kandungan.
2. Apabila ibu hamil atau menyusui
khawaatir akan kesehatan dirinya, bukan kesehatan anak atau janin, mayoritas
ulama membolehkan ia untuk berbuka dan ia wajib untuk mengqodho’ puasanya.
Dalam kondisi seperti ini, ia diqiyaskan seperti orang sakit.
3. Apabila ibu hamil atau menyusui
khawatir akan keselamatan janin atau anaknya, ia boleh berbuka. Setelah itu
apakah ia wajib mengqodho’ atau membayar fidyah? Para
ulama berbeda pendapat dalam hal ini:
a. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas membolehkan hanya dengan membayar fidyah, yaitu
memberi makan orang miskin setiap hari sejumlah hari yang ditinggalkan.
b. Mayoritas ulama hanya mewajibkan mengqodho’ puasa.
c. Sebagian yang lain mewajibkan kedua-duanya, puasa dan qodho.
d. Dr.Yusuf Qordhowi dalam Fatawa Mu’ashirahnya mengatakan bahwa ia
cenderung kepada pendapat yang mengatakan cukup dengan membayar fidyah (memberi
makan orang miskin setiap hari), jika wanita yang bersangkutan tidak
henti-hentinya hamil dan menyusui.Artinya tahun ini hamil, tahun berikutnya
menyusui dan seterusnya, sehingga ia tidak mendapatkan kesehatan untuk
mengqodho’ puasanya. Lanjut Dr. Yusuf Qordhowi, apabila kita membebani wanita
tersebut dengan juga mengqodho’ puasa yang tertinggal, berarti ia harus berpuasa
beberapa tahun berturut-turut setelah itu, dan itu sangat memberatkan ,
sedangkan Allah tidak menghendaki kesulitan bagi hamba-Nya.
G. Wanita Yang Berusia Lanjut
Apabila puasa
membuatnya sakit, maka dalam kondisi ini ia tidak boleh berpuasa. Secara umum, orang
yang sudah berusia lanjut tidak bisa diharapkan untuk mengqodho’ puasanya pada
tahun-tahun berikutnya,karena itu ia hanya wajib membayar fidyah.
H. Wanita dan Tablet Pengentas Haid
Syeikh Ibnu
Utsaimin, salah seorang ulama terkemuka Arab Saudi mengatakan bahwa penggunaan
obat yang dapat menunda haid tidak dianjurkan. Bahkan bisa berakibat tidak baik
bagi kesehatan wanita. Karena haid adalah hal yang telah ditakdirkan bagi
wanita, dan kaum wanita pada masa Rasulullah tidak pernah membebani diri mereka
dengan melakukan hal tersebut.
Namun apabila ada
wanita yang melakukan hal ini, bagaimana hukumnya? Ada dua hal yang perlu menjadi perbincangan:
1. Apabila darah benar-benar terhenti, maka puasanya sah dan tidak
diwajibkan untuk mengulang puasa.
2. Tetapi apabila ia ragu apakah darah tersebut benar-benar berhenti atau
tidak, maka hukumnya seperti wanita haid, ia tidak boleh melakukan puasa.
(Masail ash Shiyam Hal.63 dan Jami’ul ahkam an Nisa :2/393)
I. Mencicipi Masakan
Wanita yang bekerja
di dapur mungkin khawatir akan masakan yang diolahnya pada bulan puasa, karena
ia tidak dapat merasakan apakah masakan tersebut keasinan, tawar atau yang
lainnya. Bolehkah ia mencicipi masakan tersebut ? Para
ulama memfatwakan tidak mengapa wanita mencicipi rasa masakannya, asal sekedarnya
dan tidak sampai ke tenggorokan. Hal ini diqiyaskan dengan berkumur-kumur. (Jamiul
ahkam an Nisa).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar